Keterangan Gambar : Foto Muhammad Aldiansyah
Di tengah geliat dinamika kampus dan semangat mahasiswa yang terus membara, Muhammad Aldiansyah menempuh jalan yang tak hanya menantang, tetapi juga penuh makna. Ia bukan sekadar mahasiswa aktif, tetapi seorang ketua umum dari HIMATANGBAR (Himpunan Mahasiswa Tangerang Barat)—organisasi mahasiswa berbasis kedaerahan yang menempatkan nilai-nilai kebudayaan, solidaritas, dan identitas lokal sebagai fondasi perjuangan.
Baginya, peran sebagai ketua umum bukan semata status struktural. Itu adalah tanggung jawab moral dan amanah sosial. Menjadi pemimpin berarti menjadi pemandu, pengambil keputusan, sekaligus teladan yang menginspirasi seluruh anggota. “Ini lebih dari sekadar jabatan,” ujarnya, “tapi tentang bagaimana kita hadir sebagai ruang aman dan harapan bagi orang lain.”
Keterlibatannya dalam organisasi bukan muncul secara tiba-tiba. Ia tumbuh bersama kesadaran bahwa arah gerak organisasi sangat ditentukan oleh kualitas kepemimpinan. “Pemimpin itu punya pengaruh besar terhadap jalannya organisasi. Kepemimpinan yang penuh integritas dan komunikasi yang sehat bisa menyalakan semangat kolektif,” tambahnya.
Namun, tak semua perjalanan berjalan mulus. Tantangan demi tantangan ia hadapi—dari dinamika internal hingga konflik antaranggota. Tapi bagi Aldiansyah, kunci dari semua itu adalah komunikasi. “Komunikasi membuka ruang dialog, meredam ego, dan menyatukan visi,” katanya mantap.
Salah satu momen yang paling membekas dalam benaknya adalah saat ia menyadari bahwa berorganisasi bukan sekadar menjalankan AD/ART. “Saya belajar bahwa organisasi adalah ruang kemanusiaan. Ada nilai sosial yang luar biasa di dalamnya. Kita belajar mendengar, memahami, dan berdiri untuk yang lemah,” ungkapnya penuh refleksi.
Dalam prosesnya, Aldiansyah memegang satu nilai hidup yang selalu ia bawa ke mana pun: bersyukur. Bagi dia, rasa syukur adalah bentuk penerimaan yang dewasa atas kelebihan dan kekurangan diri. Ia percaya, dari syukur akan lahir kekuatan untuk terus melangkah, bahkan di tengah keterbatasan.
Perjalanan organisasinya di HIMATANGBAR pun telah melahirkan dampak nyata. Salah satunya adalah perubahan pola pikir di kalangan anggota dan meningkatnya daya saing. Ia turut menjadi bagian dari transformasi kolektif yang menjadikan organisasi bukan hanya tempat berkumpul, tapi juga tempat tumbuh dan berkembang.
Harapannya pun sederhana namun kuat: agar HIMATANGBAR dan organisasi-organisasi mahasiswa sejenis mampu mencetak insan akademis yang berpikir kritis, berjiwa kepemimpinan, dan peduli pada nasib bangsa. “Kita butuh lebih banyak pemikir dan pejuang dari kalangan muda,” ujarnya penuh harap.
Menutup perbincangan, Aldiansyah menyampaikan satu pesan untuk pembaca Bantenica:
“Semoga sahabat Bantenica terus membangun kemampuan literasi—bukan hanya dalam membaca teks, tapi juga membaca realitas sosial. Karena dari sanalah kesadaran akan tumbuh, dan perubahan bisa dimulai.
LEAVE A REPLY