
Keterangan Gambar : Sosok : Solikhan Arif
Setiap warga negara berhak untuk bekerja, mendapatkan penghidupan yang layak, dan berkontribusi secara penuh dalam kehidupan sosial maupun ekonomi bangsa. Namun, bagi jutaan penyandang disabilitas di Indonesia, hak ini belum sepenuhnya menjadi kenyataan. Mereka masih menghadapi tembok tinggi diskriminasi, stigma, dan pengabaian, meskipun konstitusi dan undang-undang telah menjamin akses yang setara terhadap dunia kerja.
Secara normatif, Indonesia memiliki kerangka hukum yang cukup kuat untuk menjamin inklusi penyandang disabilitas. Pasal 27 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan dengan jelas bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Ini menjadi dasar konstitusional bahwa tidak boleh ada satu kelompok pun yang dikucilkan dari dunia kerja hanya karena perbedaan fisik, sensorik, intelektual, atau mental.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas mempertegas jaminan tersebut. Dalam ketentuan tersebut, pemerintah, BUMN, BUMD, dan sektor swasta diwajibkan untuk menyediakan kuota khusus bagi tenaga kerja penyandang disabilitas. Bagi instansi pemerintah dan BUMN, kuota yang ditetapkan adalah minimal dua persen dari total pekerja, sedangkan perusahaan swasta wajib mengalokasikan paling sedikit satu persen dari total pekerja yang mereka miliki. Selain itu, undang-undang ini juga menekankan pentingnya akomodasi yang layak, pelatihan kerja, kesempatan promosi, dan aksesibilitas lingkungan kerja.
Lebih jauh, peraturan pemerintah dan peraturan menteri pun hadir untuk mengimplementasikan mandat inklusi ini. Pemerintah mewajibkan terbentuknya Unit Layanan Disabilitas (ULD) di setiap daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, yang berfungsi sebagai penghubung antara penyandang disabilitas dengan dunia kerja. ULD ini bertugas menyelenggarakan asesmen, pelatihan, hingga penempatan kerja. Sementara itu, peraturan teknis seperti Permen PU Nomor 30 Tahun 2006 mengatur tentang standar aksesibilitas bangunan, agar tempat kerja tidak menjadi penghalang fisik bagi para penyandang disabilitas.
Namun, regulasi yang kuat ternyata tidak serta-merta menjamin terjadinya perubahan yang signifikan di lapangan. Masih terjadi kesenjangan yang cukup lebar antara aturan yang tertulis dengan kenyataan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas. Banyak perusahaan, baik swasta maupun milik negara, belum memenuhi kuota kerja yang diwajibkan oleh undang-undang. Bahkan, beberapa di antaranya belum memiliki kesadaran dan kapasitas yang memadai untuk menciptakan lingkungan kerja yang inklusif.
Studi yang dilakukan oleh sejumlah lembaga dan akademisi menunjukkan bahwa mayoritas penyandang disabilitas masih sulit mendapatkan pekerjaan yang layak. Tidak jarang mereka menghadapi diskriminasi sejak tahap rekrutmen, di mana syarat administratif seperti "sehat jasmani dan rohani" menjadi penghalang awal yang bersifat eksklusif. Tes masuk kerja yang tidak aksesibel, tidak adanya akomodasi khusus selama proses seleksi, serta sikap pewawancara yang bias terhadap disabilitas membuat peluang mereka semakin kecil.
Kondisi ini diperparah oleh minimnya fasilitas dan infrastruktur kerja yang ramah disabilitas. Banyak kantor dan gedung pemerintahan bahkan belum memenuhi standar aksesibilitas minimal, seperti jalan landai, lift yang dapat diakses kursi roda, toilet khusus, atau penanda visual dan audio untuk pekerja dengan kebutuhan sensorik. Tidak sedikit penyandang disabilitas yang akhirnya mengundurkan diri dari pekerjaan karena lingkungan kerja tidak mendukung kebutuhan dasar mereka.
Di sisi lain, keberadaan Unit Layanan Disabilitas (ULD) yang seharusnya menjadi jembatan antara kebijakan dan pelaksanaannya pun belum optimal. Banyak ULD yang terbentuk hanya sebatas pemenuhan administratif, tanpa sumber daya manusia yang memadai, tanpa pelatihan, tanpa anggaran operasional yang jelas, dan tanpa koneksi langsung ke dunia industri. Padahal, unit ini sangat krusial untuk mengawal proses penyerapan tenaga kerja disabilitas, mulai dari edukasi perusahaan, asesmen individu, hingga proses mediasi dalam penempatan kerja.
Tak bisa diabaikan pula bagaimana stigma sosial masih melekat kuat di masyarakat, termasuk di lingkungan kerja. Penyandang disabilitas masih sering dipandang sebagai beban, bukan sebagai aset. Banyak yang menganggap bahwa memberi mereka pekerjaan adalah bentuk belas kasihan, bukan karena mereka memiliki kompetensi yang layak dihargai. Padahal, dalam banyak kasus, penyandang disabilitas justru menunjukkan loyalitas, ketekunan, dan produktivitas kerja yang tinggi—asal diberi ruang dan fasilitas yang memadai.
Kegagalan dalam menyerap tenaga kerja disabilitas bukan semata soal kebijakan, tapi juga soal keberpihakan moral. Jika kita mengaku sebagai bangsa yang menjunjung keadilan sosial, maka tidak ada alasan untuk menunda inklusi. Inklusi bukan tentang memberi keringanan, melainkan tentang membuka akses dan kesempatan yang sama. Menjadi inklusif bukan berarti menurunkan standar, tapi menyesuaikan sistem agar semua warga negara, tanpa kecuali, bisa mengaksesnya.
Madani Foundation percaya bahwa inklusi adalah jalan tengah antara keadilan dan pembangunan. Dalam berbagai program pemberdayaan, kami menyaksikan langsung bagaimana penyandang disabilitas, ketika diberi pelatihan dan dukungan, mampu bersaing bahkan unggul di sektor-sektor strategis. Mereka bukan hanya pencari kerja, tapi juga pencipta nilai. Mereka bukan objek bantuan, tapi subjek pembangunan.
Sudah saatnya pemerintah mempertegas pelaksanaan kuota kerja disabilitas, bukan hanya sebagai imbauan, tetapi sebagai kewajiban yang dapat ditindak secara administratif. Perusahaan yang tidak patuh perlu diberi sanksi, sementara mereka yang aktif membangun sistem kerja inklusif harus mendapatkan insentif yang konkret. Selain itu, ULD harus direvitalisasi dengan dukungan anggaran, tenaga profesional, dan hubungan langsung dengan dunia usaha agar bisa berfungsi secara efektif.
Kita juga perlu membangun kesadaran kolektif bahwa keberagaman, termasuk keberagaman disabilitas, adalah kekayaan bangsa. Kampanye publik, pelatihan bagi HRD dan pimpinan perusahaan, serta pelibatan komunitas disabilitas dalam proses pengambilan keputusan adalah bagian penting dari perubahan ini. Prinsip "nothing about us without us" harus diterapkan secara nyata, bukan hanya sebagai slogan.
Di tengah geliat pembangunan dan transformasi digital yang terus melaju, jangan biarkan penyandang disabilitas tertinggal. Mereka memiliki hak yang sama untuk tumbuh, berkembang, dan berkontribusi. Negara dan masyarakat harus hadir, bukan sebagai penyelamat, tetapi sebagai mitra setara dalam perjalanan mereka mewujudkan hidup yang bermartabat.
Inklusi bukan belas kasih. Ia adalah bentuk paling konkret dari keadilan sosial. Jika kita ingin membangun Indonesia yang benar-benar adil dan maju, maka tidak boleh ada satu pun warga negara yang ditinggalkan. Termasuk mereka yang selama ini disingkirkan diam-diam hanya karena tubuh mereka tidak sesuai dengan definisi umum.
LEAVE A REPLY