
Hingga hari ini, pendidikan di Indonesia masih menyisakan banyak ruang kosong—bukan karena tidak ada bangku, tetapi karena tidak semua anak benar-benar diperhitungkan. Dalam wacana pembangunan pendidikan nasional, kata “inklusif” kerap disebut, namun hanya sebatas simbol. Ketika anak-anak difabel, anak dari kelompok adat, atau anak-anak dengan kebutuhan khusus lainnya mencoba memasuki sistem, mereka tidak benar-benar disambut. Mereka hanya ditoleransi.
Fasilitas pendidikan di Indonesia memang terus dibangun, tapi pembangunan itu seringkali bersifat fisik semata. Di balik angka partisipasi sekolah yang nyaris sempurna di atas kertas, kita menemukan fakta bahwa anak-anak dengan hambatan mobilitas masih harus dipapah menaiki tangga, bukan diberikan ramp. Anak-anak tuli harus duduk diam di kelas tanpa pendamping bahasa isyarat, sementara guru diminta menyesuaikan diri tanpa pelatihan yang memadai. Maka lahirlah pendidikan yang “terbuka” tapi tidak “merangkul”.
Inklusi yang Gagal Dipahami
Pendidikan inklusif sering disalahpahami sebagai sekadar integrasi fisik anak berkebutuhan khusus ke dalam kelas reguler. Padahal secara filosofis, inklusi adalah pembalikan logika kekuasaan: bukan murid yang menyesuaikan diri dengan sistem, tapi sistem yang wajib menyesuaikan diri dengan keberagaman murid. Konsep ini secara jelas ditegaskan dalam dokumen UNESCO tahun 2009, yang menyatakan bahwa pendidikan inklusif adalah proses partisipatif yang menolak setiap bentuk eksklusi berbasis perbedaan fisik, mental, sosial, atau budaya.
Namun di Indonesia, konsep ini belum menjelma menjadi kesadaran struktural. Regulasi tentang inklusi memang ada, tapi pelaksanaannya tercecer. Menurut laporan UNICEF dan Bappenas tahun 2023, hanya 36% dari total sekolah dasar di Indonesia yang dinyatakan “inklusif secara administratif”, dan dari jumlah itu, hanya separuhnya yang benar-benar menerapkan prinsip-prinsip inklusi dalam praktik sehari-hari. Pendidikan kita masih sangat jauh dari cita-cita keadilan sosial sebagaimana termaktub dalam sila kelima Pancasila.
Anak Muda dan Tugas Mengganggu Keheningan
Di tengah sunyi itu, anak muda sesungguhnya sedang membangun harapan baru. Mereka mungkin tidak memiliki kewenangan formal, tapi mereka punya sesuatu yang tak kalah penting: keberanian untuk bergerak tanpa izin, dan kemampuan untuk membaca ulang kenyataan. Di banyak daerah, anak-anak muda sudah menginisiasi ruang belajar komunitas, mengembangkan konten pendidikan ramah disabilitas, hingga mengadvokasi kebijakan lokal agar lebih partisipatif. Mereka tidak sedang menunggu sistem menjadi sempurna. Mereka sedang memperbaiki retakan dengan tangan sendiri.
Peran anak muda dalam konteks ini bukan sekadar “bantu-membantu” atau “kerelawanan sosial”. Ini adalah peran politis dalam arti yang paling fundamental. Mereka sedang merebut ruang yang selama ini dikunci oleh struktur kekuasaan pendidikan. Dalam pemikiran Paulo Freire, pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang membuka ruang refleksi dan aksi secara simultan. Dan itulah yang sedang dilakukan banyak anak muda hari ini: berpikir, bergerak, dan membongkar ulang cara dunia melihat ‘perbedaan’.
Merebut Posisi dalam Kebijakan dan Narasi Publik
Tentu, gerakan sunyi ini tidak cukup hanya berhenti di komunitas. Jika ingin berdampak sistemik, anak muda harus mulai masuk ke ruang-ruang perumusan kebijakan. Mereka perlu hadir bukan hanya sebagai pengisi diskusi, tapi sebagai pengubah arah diskusi itu sendiri. Mereka harus bicara tentang anggaran pendidikan yang lebih berpihak, mendesak pelatihan guru yang berbasis sensitivitas inklusi, dan mendorong kurikulum yang tidak hanya adaptif, tapi juga adil.
Lebih dari itu, anak muda harus mulai menulis ulang narasi tentang siapa yang layak disebut “berhasil” dalam pendidikan. Selama ini, sukses diukur dari nilai ujian, ranking, dan kompetensi kerja. Tapi dalam masyarakat inklusif, keberhasilan adalah ketika setiap anak—tanpa kecuali—mampu berkembang dengan cara yang sesuai dengan kodrat kemanusiaannya. Ketika anak difabel bisa bicara tanpa dipermalukan, ketika anak dari desa bisa membaca tanpa harus meninggalkan kampungnya, dan ketika anak perempuan bisa belajar sains tanpa dianggap terlalu ambisius.
Kesetaraan Sebagai Pilihan Kesadaran
Keadilan dalam pendidikan tidak akan pernah datang sendiri. Ia harus diperjuangkan. Dan perjuangan itu tidak bisa hanya bergantung pada negara. Dibutuhkan keberanian moral dari masyarakat sipil—terutama anak muda—untuk mengubah sistem dari dalam maupun dari bawah. Pendidikan inklusif bukan lagi pilihan, tetapi satu-satunya jalan jika kita benar-benar ingin memanusiakan proses belajar. Karena sekolah seharusnya bukan tempat menghapus identitas, melainkan ruang untuk merayakan keberagaman.
Perubahan tidak datang dari orang yang puas dengan keadaan. Ia datang dari mereka yang gelisah, yang berani mengganggu kenyamanan, dan yang mau berdiri bersama mereka yang selama ini tak terlihat. Anak muda hari ini punya semua itu. Maka jangan tunda. Jangan diam. Karena yang paling berbahaya dari ketidakadilan adalah saat kita mulai menganggapnya biasa.
Sebagai Peserta Duta Pendidikan Muda Indonesia
Sebagai peserta Duta Pendidikan Muda Indonesia, saya tidak hanya melihat pendidikan inklusif sebagai cita-cita ideal, tetapi sebagai kebutuhan mendesak yang harus dijawab dengan keberpihakan nyata. Saya percaya, solusi tidak harus selalu bersumber dari lembaga besar atau anggaran negara. Anak muda bisa mulai dari hal yang paling dekat—dengan memetakan kebutuhan inklusi di sekolah sekitar, menyusun modul pembelajaran yang adaptif, menginisiasi ruang belajar komunitas yang ramah perbedaan, atau mengangkat suara-suara yang selama ini tak terdengar ke forum-forum publik. Dalam jangka panjang, saya menawarkan gagasan agar Duta Pendidikan Muda Indonesia menjadi platform strategis yang mendorong advokasi kebijakan berbasis data dan pengalaman akar rumput. Kita tidak bisa terus membiarkan pendidikan berjalan tanpa mengindahkan siapa yang tertinggal. Maka sebagai bagian dari gerakan ini, saya berkomitmen menjadikan inklusi bukan sekadar tema, tetapi kerja sosial yang berakar pada keadilan dan keberanian untuk mengubah wajah pendidikan Indonesia, sedikit demi sedikit, dari pinggir—ke pusat.
LEAVE A REPLY