Home Gaya Hidup Tanah Subur, Pohon Beton, dan Suara Tani yang Tenggelam

Tanah Subur, Pohon Beton, dan Suara Tani yang Tenggelam

M. Rosikudin, anggota Kelompok Tani Waru, Kabupaten Tangerang

134
0
SHARE
Tanah Subur, Pohon Beton, dan Suara Tani yang Tenggelam

Hari ini katanya Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Di televisi banyak pidato. Di grup WhatsApp desa berseliweran flyer apel dan bersih-bersih. Tapi di lahan kami yang dulu subur, yang tumbuh bukan lagi padi atau palawija. Yang tumbuh subur sekarang adalah pohon-pohon beton.

Saya M. Rosikudin, petani dari Kelompok Tani Waru, salah satu komunitas tani yang masih bertahan di tengah padatnya pembangunan di Kabupaten Tangerang. Kami bukan anti pembangunan. Kami juga ingin jalanan mulus, rumah sakit dekat, anak-anak kami bisa sekolah tinggi. Tapi yang kami sedihkan, pembangunan ini seolah tak melihat kami sebagai bagian dari masa depan. Kami ini warga juga—bukan bayangan di pinggir kota.

Kabupaten Tangerang ini tanahnya kaya. Airnya dulu mudah, hasil bumi melimpah, dan orang-orangnya ramah. Tapi entah sejak kapan, tanah kami mulai dikavling diam-diam. Lahan pertanian yang dulu bisa panen tiga kali setahun, sekarang jadi kawasan pergudangan. Di atas tanah kami yang dulu menumbuhkan jagung dan singkong, kini berdiri deretan ruko, pabrik, dan jalan aspal panas.

Kami menyebutnya “pohon beton”—karena tumbuhnya cepat, menjulang, dan bikin nafas kami sesak. Pohon ini bukan tumbuh di siang hari, tapi malam. Artinya: tiba-tiba. Tanpa suara. Tanpa kabar. Tahu-tahu papan proyek muncul, tahu-tahu alat berat berdiri di petak sawah. Kami hanya bisa menatap dari pinggir—bertanya dalam hati: siapa yang menanam, siapa yang panen?

Setiap kali Hari Lingkungan Hidup datang, kami ingin tertawa getir. Tertawa karena kami tahu yang dirayakan hanya permukaannya. Tapi juga ingin menangis karena kami tahu: lingkungan hidup seharusnya tak cuma soal menanam pohon seremonial, tapi menjaga ruang hidup agar tetap adil bagi semua.

Kami para petani hanya ingin satu hal: diakui. Bahwa bertani bukan profesi rendah. Bahwa menjaga tanah adalah bagian dari ibadah. Bahwa jika bicara lingkungan, maka kami bukan pengganggu pembangunan—kami bagian dari kehidupan itu sendiri.

Saya sering dengar kata “ekonomi hijau”, “transisi energi”, “ketahanan pangan” dari mulut pejabat. Tapi mengapa suara kami jarang masuk ke musrenbang? Mengapa ketika kami minta saluran irigasi, jawabannya tak ada dana, tapi begitu pengusaha mengajukan izin industri, semua pintu bisa terbuka?

Tangerang tidak kekurangan potensi. Yang hilang adalah keberpihakan. Jika benar pembangunan itu untuk manusia, maka dengarlah manusia yang hidup dari tanah. Datanglah ke kebun, ke kandang, ke sawah. Lihat bagaimana kami menjaga makanan lokal, merawat air, dan menanam harapan—bahkan saat tanah kami perlahan direbut.

Saya tidak sedang marah. Saya hanya menyuarakan kegundahan yang lama kami simpan. Kampung kami dulu merayakan panen seperti menyambut hari besar. Sekarang kami menyambut surat pembebasan lahan seperti menunggu bencana. Rumah kami tetap ada, tapi rasa tinggal pelan-pelan lenyap.

Hari ini Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Kalau boleh usul, tanamlah bukan hanya pohon, tapi juga rasa malu. Malu karena membiarkan ruang tani tenggelam oleh beton. Malu karena lebih sibuk membangun taman kota daripada menyelamatkan petani.

Tanah ini tak butuh banyak. Ia hanya ingin terus hidup.
Dan kami, para petani di Tani Waru, hanya ingin tetap bisa menanam.
Bukan menanam beton.