
Di tengah kebisingan politik yang kerap diisi dengan sensasi dan kemasan kosong, PKB tampil dengan gaya yang relatif berbeda. Tidak berarti bebas dari kekurangan, tapi setidaknya ada tanda-tanda bahwa PKB sedang serius menata dirinya, sambil tetap menjaga kedekatan dengan denyut sosial.
Apa yang dilakukan PKB dalam beberapa tahun terakhir bukan sekadar pengulangan jargon lama. Ada upaya untuk menyusun strategi dengan lebih rapi, menjangkau publik muda dengan gaya yang lebih segar, dan memperkuat kaderisasi lewat pendekatan yang tidak instan. Di banyak tempat, kader-kader muda mulai diberi ruang nyata untuk berbicara dan mengambil peran. Bukan sekadar disuruh tampil di baliho, tapi diajak berpikir, meriset, dan menjalankan program.
Isu-isu sosial yang diangkat pun bukan asal petik. PKB cukup cepat membaca lanskap. Ketika publik mulai resah dengan kekerasan seksual di lembaga keagamaan, PKB jadi salah satu partai pertama yang bersuara jelas, bahkan mengusulkan pengawasan ketat tanpa perlu merasa alergi pada kritik terhadap institusi pendidikan Islam. Di saat banyak partai masih bermain di zona nyaman, PKB berani masuk ke wilayah yang sensitif tapi relevan.
Di sektor digital, PKB juga tidak asal bikin konten. Di sejumlah daerah, seperti Sulsel dan Jember, struktur partai menggunakan riset mikro untuk memahami gaya komunikasi milenial dan Gen Z. Hasilnya? Kampanye media sosial terasa lebih ringan, tapi tetap padat makna. Meme, infografis, sampai potongan video ceramah—diolah dengan gaya yang dekat dengan publik digital, tanpa kehilangan pesan substansial.
Kaderisasi juga tidak ditinggal. Model berjenjang, dengan pelatihan yang bukan cuma soal ideologi tapi juga tentang berpikir strategis dan membangun sensitivitas sosial, dijalankan di berbagai wilayah. Di DPC Bandar Lampung misalnya, ada pola pelatihan bertahap yang mengasah nalar kritis sekaligus keberpihakan pada masyarakat kecil. Ini bukan hal kecil, apalagi di tengah budaya instan yang menghinggapi banyak partai.
Dan yang cukup mencuri perhatian: regenerasi benar-benar dijalankan. Bukan sekadar lips service. Di DPP PKB, misalnya, ada kader muda berusia awal 20-an yang memegang jabatan strategis harian. Keputusan ini tentu penuh risiko, tapi juga sinyal bahwa PKB berani ambil jalan yang tidak biasa. Politik bukan lagi soal umur dan senioritas semata, tapi tentang kesiapan, keberanian, dan kapasitas.
Sebagai Ketua Kaderisasi DPC PKB Kabupaten Tangerang, saya melihat geliat ini bukan semata wacana. Di daerah, PKB juga sedang menata arah. Kami mendorong penguatan kaderisasi hingga tingkat ranting dengan pendekatan yang kontekstual dan berkelanjutan. Sayap partai seperti DKC Panji Bangsa dan Perempuan Bangsa terus dikuatkan sebagai bagian dari strategi regenerasi dan perluasan basis kader ideologis.
Pengarusutamaan gender pun menjadi komitmen yang tak terpisah. Di Tangerang, PKB menempatkan isu ini dalam kerangka besar pembangunan berkelanjutan (SDGs). Kesetaraan politik bukan hanya slogan, tapi mulai ditanamkan melalui pelibatan aktif perempuan dalam proses kaderisasi dan pengambilan keputusan.
Dengan modal seperti ini, rasanya tidak berlebihan kalau ada yang mulai menyebut PKB sebagai salah satu kandidat kuat menuju Pemilu 2029. Tentu jalan masih panjang dan penuh kemungkinan. Tapi momentum sedang dibangun. Gerakan sedang diarahkan. Dan yang paling penting: ada keinginan untuk berubah, dari dalam.
Tugas selanjutnya adalah memastikan keasikan ini tidak berhenti di elite. Politik yang asik harus bisa dirasakan sampai ke bawah. Kaderisasi yang rapi, narasi yang tumbuh, dan keberanian merespons isu-isu krusial, harus menjelma menjadi kehadiran nyata di tengah masyarakat.
PKB belum sempurna. Tapi PKB sedang bergerak. Dan di tengah stagnasi banyak partai politik, itu saja sudah layak mendapat perhatian.
LEAVE A REPLY