Home Opini Kiai dalam Pusaran Gerakan Keagamaan

Kiai dalam Pusaran Gerakan Keagamaan

Dari Pengarah Moral ke Figuran Politik?

86
0
SHARE
Kiai dalam Pusaran Gerakan Keagamaan

Keterangan Gambar : Penulis : Fakhrizal Sa’dan Mansyur

Dalam sejarah panjang Islam di Indonesia, sosok kiai memegang posisi strategis, tidak hanya sebagai pengajar agama di pesantren, tetapi juga sebagai pemimpin masyarakat, penggerak sosial, hingga pelopor perlawanan terhadap penjajahan. Para kiai tidak sekadar mengajarkan tafsir dan fikih, tetapi juga menyuarakan nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan kemandirian. Namun kini, seiring dengan perubahan zaman, muncul pertanyaan yang mengusik: masihkah kiai menjadi poros utama gerakan keagamaan? Ataukah mereka telah bergeser menjadi simbol semata di tengah dunia yang semakin pragmatis?

Pertanyaan ini relevan dalam membaca transformasi gerakan keagamaan kontemporer di Indonesia. Di satu sisi, kita melihat eksistensi kiai tetap kuat—ceramah mereka ditonton jutaan orang, diundang ke berbagai forum, bahkan memiliki kanal YouTube pribadi. Namun di sisi lain, fungsi transformatif mereka sebagai pengarah moral umat dan pelaku perubahan sosial justru mulai melemah. Banyak yang hadir hanya dalam posisi simbolik, bukan substantif.

Kiai dalam Gerakan Islam Awal: Antara Spiritualitas dan Perlawanan

Untuk memahami dinamika ini, kita perlu kembali ke akar sejarah gerakan keagamaan di Indonesia. Dalam masa kolonial, kiai menjadi tokoh sentral dalam resistensi terhadap penjajahan. Peran-peran seperti Hadratussyekh Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, dan Syaikh Nawawi Banten menunjukkan bahwa kiai bukan hanya pengajar agama, melainkan pemimpin gerakan. Mereka membangun pesantren bukan sekadar untuk mencetak ahli fikih, tapi juga kader perubahan sosial.

Organisasi seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan Persis pada awal abad ke-20 berdiri di atas fondasi moralitas Islam sekaligus semangat nasionalisme. Kiai dalam konteks ini menjadi jembatan antara nilai-nilai agama dengan kepentingan bangsa. Gerakan keagamaan tidak dimaknai sebagai gerakan doktrinal semata, tapi juga sebagai upaya membangun masyarakat yang adil, merdeka, dan berdaulat secara sosial dan budaya.

Transformasi Era Digital: Ketika Dakwah Berpindah Medium

Masuk era digital, posisi kiai mengalami transformasi besar. Dakwah tidak lagi hanya berlangsung di langgar dan mimbar, tapi menjalar ke ruang-ruang virtual. Ceramah para kiai viral di TikTok, konten-konten pengajian dikemas dengan editing ala sinetron, dan istilah seperti "ustaz seleb" atau "kiai digital" menjadi lumrah.

Tentu, hal ini tidak sepenuhnya negatif. Perubahan medium dakwah membuka akses yang lebih luas bagi umat. Namun di sisi lain, muncul kecenderungan komodifikasi agama. Kiai menjadi bagian dari algoritma—disukai karena lucu, ditonton karena viral, dikutip karena menghibur. Narasi dakwah bergeser dari perubahan sosial ke sekadar menjaga kenyamanan spiritual umat.

Lebih dari itu, sebagian kiai mulai berhitung dengan kepentingan popularitas. Mereka cenderung netral atau menghindari isu-isu keadilan sosial, diskriminasi, kerusakan lingkungan, atau kekerasan atas nama agama. Padahal, sejarah Islam menunjukkan bahwa dakwah Nabi dan para ulama dahulu tidak netral terhadap penindasan.

Simbolisasi Kiai dan Melemahnya Otoritas Moral

Fenomena yang mengemuka adalah simbolisasi kiai dalam struktur gerakan keagamaan. Mereka lebih sering ditampilkan untuk memberi legitimasi ketimbang benar-benar memimpin arah gerakan. Kiai menjadi nama, bukan narasi. Dalam banyak kasus, mereka hadir dalam acara-acara keagamaan hanya sebagai pemanis, bukan sebagai penentu arah gerakan.

Akibatnya, otoritas moral yang dulu dimiliki kiai kini tergantikan oleh suara-suara pragmatis. Gerakan keagamaan yang semula membawa semangat transformasi menjadi kehilangan tajinya. Mereka sibuk dengan kegiatan seremonial, sibuk dengan jargon-jargon kebaikan, tetapi absen dalam memperjuangkan hak-hak kaum lemah.

Ketika gerakan keagamaan kehilangan ruh kritisnya, maka umat kehilangan kompas moralnya. Generasi muda muslim mulai mencari figur alternatif—aktivis, akademisi, bahkan selebgram—yang dinilai lebih berani, terbuka, dan kontekstual dalam membahas isu-isu sosial.

Tantangan Baru: Krisis Kepercayaan dan Fragmentasi Gerakan

Transformasi peran kiai juga berdampak pada krisis kepercayaan di kalangan umat. Banyak warga pesantren, santri, dan jamaah merasa bingung ketika melihat kiai mereka tidak bersuara saat terjadi ketidakadilan. Kiai yang dulu menjadi teladan karena keberpihakannya, kini cenderung diam atau bahkan ikut menjadi bagian dari jaringan kekuasaan.

Dalam konteks gerakan keagamaan, hal ini menciptakan fragmentasi. Sebagian umat bergeser ke gerakan keagamaan baru yang lebih “militan” dan eksklusif. Sebagian lagi menjadi apatis. Sementara di tengahnya, hanya sedikit kiai yang tetap menjaga integritas moral dan keberpihakan sosial sebagaimana dicontohkan oleh para ulama terdahulu.

Menghidupkan Kembali Arah Etis Gerakan Keagamaan

Gerakan keagamaan di Indonesia memiliki akar kuat dalam nilai-nilai etika dan pembebasan. Untuk itu, perlu ada revitalisasi peran kiai sebagai penjaga arah. Bukan hanya tampil di mimbar atau layar kaca, tetapi kembali menjadi penuntun umat di tengah gelombang krisis sosial dan spiritual yang kian kompleks.

Kiai harus berani keluar dari zona aman dan bicara tentang persoalan nyata: kemiskinan, ketimpangan, pendidikan, lingkungan, hingga radikalisme. Mereka perlu menjadi suara nurani di tengah kebisingan politik dan pasar agama. Jika tidak, gerakan keagamaan akan terus terpinggirkan dan kehilangan daya transformasinya.

Penutupnya sederhana tapi penting: kiai tidak cukup hadir sebagai simbol. Mereka harus hadir sebagai subjek perubahan. Jika gerakan keagamaan ingin tetap relevan dan berdampak, maka sudah saatnya kiai kembali memimpin dari depan—dengan keberanian, ketulusan, dan nilai.