Home Opini Perempuan, Tubuh, dan Hak Bicara

Perempuan, Tubuh, dan Hak Bicara

Mendorong pendidikan reproduksi adil serta pengarusutamaan gender dalam ruang belajar dan kebijakan pembangunan

138
0
SHARE
Perempuan, Tubuh, dan Hak Bicara

Keterangan Gambar : Raden Siska Marini, founder Ruang Aman

Kita hidup di era ketika perempuan semakin banyak yang kuliah tinggi, aktif di ruang publik, bahkan memimpin lembaga dan perusahaan. Tapi ironisnya, untuk hal yang paling mendasar sekalipun—hak atas tubuh dan kesehatan reproduksi—perempuan masih kerap dibungkam. Bukan hanya oleh sistem patriarkal, tapi juga oleh ketidaksadaran mereka sendiri. Ini bukan hanya soal laki-laki yang belum terbuka pikirannya, tapi juga soal perempuan yang belum selesai mendidik dirinya sendiri.

Hak atas kesehatan reproduksi bukan isu baru, tapi urgensinya terus bertambah. Terlebih di ruang-ruang yang semestinya membebaskan—sekolah, kampus, bahkan organisasi perempuan—isu ini sering kali dipinggirkan, ditunda, atau dianggap terlalu "sensitif" untuk dibicarakan secara terbuka. Padahal, tubuh perempuan tidak boleh menjadi proyek diam-diam negara, apalagi sekadar angka dalam laporan statistik pembangunan.

Pendidikan kesehatan reproduksi di sekolah, misalnya, masih sangat terbatas dan kerap dibalut rasa tabu. Guru tidak nyaman membahasnya, orang tua merasa risih, dan murid dibiarkan belajar dari jalan pintas internet yang tak selalu sehat. Sementara itu, angka kehamilan remaja, kekerasan seksual, dan infeksi menular seksual terus meningkat. Ini bukan lagi soal ketidaktahuan—ini adalah kegagalan sistemik karena tidak adanya keberanian politik dan kultural untuk mengakui bahwa tubuh perempuan butuh pengetahuan, bukan pembungkaman.

Dan yang menyedihkan, pembungkaman ini kadang justru dilanggengkan oleh sesama perempuan. Tak sedikit ibu, guru, atau tokoh perempuan yang justru mengajarkan bahwa “perempuan baik-baik” itu diam, patuh, dan tidak banyak bertanya soal tubuhnya sendiri. Seolah menjadi perempuan berarti menghindari konflik, termasuk konflik batin dengan norma-norma yang mengekang.

Di sinilah pentingnya kesadaran kolektif perempuan—bahwa perjuangan kesetaraan tidak bisa hanya diserahkan pada “laki-laki yang open-minded.” Perempuan sendiri harus kritis, melek hak, dan berani bersuara. Tak cukup hanya bangga berorganisasi atau berdiri di panggung seminar bertema gender. Harus ada keberanian untuk mengangkat isu sensitif, bahkan ketika itu membuat tidak nyaman—karena perubahan sosial memang tidak pernah nyaman di awal.

Menurut Raden Siska Marini, founder Ruang Aman, "Akan selalu banyak hal yang bisa dikaitkan dengan perempuan: isu kesehatan, ekonomi, dan bahkan pembangunan." Oleh karena itu, menjadi penting untuk mengafirmasi Pengarusutamaan Gender (PUG) sebagai agenda dalam Proyek Strategis Nasional (PSN). Sebab, pembangunan yang mengabaikan hak-hak perempuan—termasuk hak atas kesehatan reproduksi—adalah pembangunan yang cacat sejak fondasinya.

Apalagi kita kini berada di ambang 2030, tenggat waktu dari Sustainable Development Goals (SDGs). Sudah seharusnya semua level pemerintahan dan institusi menyadari bahwa Goal 5: Achieve Gender Equality bukan bisa ditunda, apalagi dilupakan. Hak atas pendidikan kesehatan reproduksi harus dijamin dalam kurikulum, dilindungi oleh kebijakan, dan dibela oleh mereka yang mengaku berdiri atas nama perempuan.

Islam sendiri tidak melarang perempuan berilmu atau memahami tubuhnya. Bahkan dalam hadis Rasulullah disebutkan bahwa menuntut ilmu itu wajib bagi laki-laki dan perempuan. Termasuk ilmu yang menyangkut hak atas tubuh, relasi sehat, dan perlindungan dari kekerasan. Dalam QS. An-Nur ayat 30-31, laki-laki dan perempuan sama-sama diperintahkan untuk menjaga pandangan dan kehormatan. Maka mengapa dalam praktik sosial, hanya perempuan yang dibebani?

Ini saatnya perempuan menyadari bahwa tubuh mereka bukan milik negara, bukan milik adat, bukan milik komunitas, dan bukan milik pasangan. Tubuh mereka adalah milik mereka sendiri, dan mereka punya hak untuk tahu, mengatur, dan memperjuangkannya. Jika perempuan terus dididik untuk diam, maka kita sedang mencetak generasi baru yang juga akan diam ketika hak mereka dilanggar.

Maka mari bergerak bersama, bukan hanya mengedukasi laki-laki agar berpikiran terbuka, tapi juga mendorong perempuan agar sadar akan perjuangan yang tengah dilakukan atas nama mereka. Perjuangan yang tidak bisa separuh jalan, tidak bisa dilakukan setengah hati.

Tubuh perempuan bukan aib. Pengetahuan tentang reproduksi bukan dosa. Dan diam bukanlah pilihan dalam sistem yang tidak adil. Karena pada akhirnya, kesetaraan tidak akan tercapai jika perempuan sendiri belum yakin bahwa dirinya layak untuk merdeka.